Rabu, 12 September 2012

hukumria: KUHPERDATA

esensi Buku : Jelang Puncak Acara Peringatan 130 Tahun Peradilan Agama Dr. H. Chatib Rasyid,Sh., Mh. Persembahkan Karya Kepada Badilag.Net | Oleh : Muh. Irfan Husaeni, S.Ag., MSI | (12/9) PDF Cetak E-mail
Rabu, 12 September 2012 09:30
Resensi Buku:

Jelang Puncak Acara Peringatan 130 Tahun Peradilan Agama Dr. H. Chatib Rasyid,SH., MH. Persembahkan Karya Kepada Pembaca Setia Badilag.Net


Judul
:
Akibat Hukum Terhadap Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010.
Pengarang
:
Dr. H. Chatib Rasyid, SH,. MH dkk.
Sambutan
:
Dr. H. Andi Syamsu Alam, SH., MH.
Penerbit
:
Total Media, Jl. Nyai Ahmad Dahlan (Gerjen) No. 62 Yogyakarta 55262. Faks/telp 0274-375314
CP. Sobirin Maliyan 081328020464.
Tahun Terbit
:
2012
Cetakan I
:
September, 2012
Tebal Halaman
:
xii+158; 23x16 cm

Muqadimah
Allah berfirman: “… maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang  yang mengotorinya...” (QS. 91:7-9)
Kepada mereka yang telah (terlanjur) berbuat fujur atau kefasikan, Allah membuka jalan taubat. Karena Allah Maha menerima taubat. Walaupun Allah membuka pintu taubat bukan berarti Allah melegalkan perbuatan fujur dan kemaksiatan, tetap lebih mulia bagi siapa saja yang memilih jalan ketaqwaan.
Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 yang salah satu amarnya berbumyi “… Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Walaupun MK telah memberi ruang kepada anak yang lahir di luar perkawinan berupa hubungan perdata dengan ayah biologisnya, bukan berarti MK melegalkan perzinaaan dan merusak lembaga perkawinan yang luhur, tidak ada kalimat melegalkan dalam putusan itu.
Dalam perkara ini, MK tidak mengadili kasus perkawinan Macicha Mochtar dengan Drs. Moerdiono (alm) melainkan  mengadili pasal yang dimohonkan judicial review oleh Pemohon karena menurut Pemohon Pasal Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dianggap bertentangan dengan konstitusi yaitu Pasal 28D UUD 1945. MK hanya mengadili apa yang menjadi kewenangannya yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Isi Buku
Dalam rangka menjawab Putusan MK  tersebut Dr. H. Chatib Rasyid, SH,. MH. – yang pada 12 Juli 2012 telah berhasil mempertahankan disertasinya dalam ujian tertutup program Doktor di salah satu Perguruan Tinggi Ternama di Bandung- telah memberikan pencerahan kepada masyarakat dalam bentuk buku berjudul “Anak Lahir di Luar Nikah (Secara Hukum) Berbeda dengan Anak Hasil Zina (kajian yuridis terhadap putusan MK)”. Buku ini merupakan hasil kolaborasi 2 artikel Penulis yang telah diupload di situs badilag.net dengan perbaikan dan penyempurnaan seperlunya.
Pada bagian awal Penulis menyajikan kasus posisi antara Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dengan Drs. Moerdiono. Hingga keluarlah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, yang intinya menyatakan, bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara RI. No. 3019) yang menyatakan, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Sehingga ayat tersebut harus dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ".
Pada pembahasan berikutnya penulis mengupas tuntas status asal-usul anak dan permasalahannya dalam perspektif fiqh dan Undang-Undang. Pembahasan ini menarik karena masyarakat akan mendapatkan pencerahan tentang status anak. Penulis memetakan status anak menjadi 3 kelompok yaitu anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, anak yang lahir di luar perkawinan dan anak yang lahir tanpa perkawinan (anak hasil zina).
Pada bagian akhir Penulis menegaskan kembali tentang kewenangan pengadilan agama terkait dengan putusan MK. Kewenangan tersebut meliputi pengesahan anak, penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
Penulis -yang pada Selasa, 4 September 2012 menjadi Promovendus  pada Sidang Terbuka Promosi Doktor pada salah satu Perguruan Tinggi Ternama di Bandung- berkesimpulan bahwa Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 terutama pada kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan “ tidak dapat diartikan sebagai anak yang lahir dari perzinahan.
Daya Tarik Buku Ini
Daya tarik buku ini terletak pada cara Penulis mengkritisi putusan MK. Penulis tidak menyatakan putusan MK sesuai atau tidak sesuai dengan syari’ah. Tampak jelas Penulis tidak mau masuk pada ranah perdebatan melainkan ingin mengakhiri perdebatan. Dengan demikian Penulis tidak menghakimi Putusan MK yang bersifat final (Pasal 10 UU Nomor 24 tahun 2003).
Kelebihan lain adalah buku ini mampu menjawab kesalahfahaman masyarakat dalam memahami Putusan MK. Logika berfikir Penulis jernih dan netral serta disajikan dengan bahasa yang mudah difahami oleh semua kalangan.
Namun buku ini ada sedikit kekurangan yaitu Penulis tidak mengupas tuntas status perkawinan Drs. Murdiono yang sudah beristri saat melangsungkan perkawinan “tidak tercatat” dengan Machica Muchtar. Bagaimana status perkawinan “poligami sirinya?”.
Yang Istimewa Dari Buku Ini
Buku ini tergolong istimewa karena Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 ditelisik dari berbagai sudut pandang oleh para pakar di bidangnya, masing-masing berkontribusi lewat sebuah artikel hasil seminar yang membedah Putusan MK, yang diselenggarakan di sebuah kampus ternama di Yogyakarta. Para ahli dimaksud adalah:
1. Dr. Muhammad Alim, SH., M.Hum. (Hakim Mahkamah Konstitusi)
Dengan tetap berpijak pada Putusan Mahkamah Konstitusi, Muhammad Alim mengatakan bahwa tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Maka tidak tepat dan tidak adil pula manakala hukum membebasakan laki-laki yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan maniadakan hak-hak terhadap laki-laki tersebut sebagai bapaknya.
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara timbal balik yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu dan bapak.
Muhammad Alim berkesimpulan bahwa hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. intinya anak harus mendapatkan perlindungan hukum.
2. Drs. H. A. Zuhdi Muhdhor, SH., M.Hum. (Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta)
A. Zuhhdi Muhdhor berbeda pendapat dengan Muhammad Alim. Menurutnya bahwa hukum Islam -baik yang terangkum dalam dalam kitab-kitab fiqh maupun Kompilasi Hukum Isalam- dan UU Perkawinan Indonesia tidak mengenal adanya hubungan keperdataan antara anak luar nikah dengan ayah biologisnya atau keluarga ayah biologisnya. Artinya bahwa anak luar nikah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.
Mutiara yang dapat diambil dari pendapat Humas PA Yogyakarta ini, bahwa kalimat hubungan perdata harus dimaknai bahwa ayah biologis tersebut wajib memberi kebutuhan hidup bagi si anak dan bila ayah biologis meninggal dunia, hak anak dari harta ayah biologis tersebut melalui wasiyah wajibah. (bandingkan dengan Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012).
3. Yunianti Chuzaifah, MA. (Katua Komnas Perempuan)
Beliau termasuk yang mengamini Putusan MK. Dalam tulisannya Lulusan Leiden University menegasakan pentingnya perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya. Termasuk hak anak yang dilahirkan meskipun keabsahannya masih menjadi sengketa. Namun demikian Ketua Komnas Perempuan tidak setuju dengan adanya nikah sirri akan tetapi jika terlanjur terjadi maka anak yang lahir di luar perkawinan tersebut  harus diakui.
4. Dr. Das Salirawati, M.Si (Ahli Biokimia dan Rekayasa Genetika)
Ditemukannya DNA sebagai cabang ilmu pengetahuan baru (Bioteknologi dan Rekayasa Genetika) memberikan secercah harapan baru bagi siapa saja yang ingin menyingkap rahasia kehidupan manusia secara ilmiah. Seperti kasus kecelakaan pesawat Sukhoi yang terjatuh di Gunung Salak 9 Mei 2012 atau untuk mengetahui asal-usul anak. Pembuktian yang akurat ini dikenal dengan tes DNA. Di kepolisian tes DNA digunakan untuk tes forensik karena merupakan bukti yang paling akurat untuk mengidentifikasi seseorang dibanding sidik jari.
DNA (deoxyribonucleic acid) dalam bahasa Indonesia sering disebut yaitu Asam deoksiribonukleat merupakan materi genetik yang terdapat dalam tubuh setiap orang yang diwarisi dari orang tua. DNA terdapat pada inti sel di dalam struktur kromosom dan pada mitokondria.
Membaca buku ini setia badilag.net akan mengetahui bagaimana Tes DNA dilakukan? Organ tubuh yang mana yang dapat dijadikan sampel? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui hasil tes DNA? Apakah perlu surat pengantar dokter? Bagaimana jika terduga ayah kandung sudah meninggal? Dan yang lebih penting adalah berapa biaya yang diperlukan untuk melakukan tes DNA? Jawabannya ada dalam buku ini.
Penutup dan Saran
Buku ini dilengkapi dengan Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya.
Jadilah orang pertama yang membaca buku ini karena cukup mencerahkan. Buku ini layak dibaca oleh setia badilag.net juga layak dibaca oleh pengacara, dosen, mahasiswa, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, LSM, PSW, PEKKA, MUI dan masyarakat pemerhati hukum dan sosial lainnya.
*Resensator: Muh. Irfan Husaeni, S.Ag., MSI/ Hakim Pengadilan Agama Painan.**