Minggu, 25 Maret 2018


Meninjau Ulang Tenggang Pemanggilan Perkara Ghaib Perceraian
Oleh : Drs.Suyad,MH. (Hakim Pengadilan Agama Tulungagung)
Pendahuluan Tata cara pemanggilan pihak perkara secara umum telah diatur antara lain dalam pasal 122, 165, 285, 388,390 HIR, 718 RB.g. dan pasal 1868 BW. dan masih ada di peraturan yang lainya. Sedangkan khusus perkara perceraian untuk pihak yang gaib (alamat tidak jelas), telah di atur dalam UU. No.1 tahun 1974 dan PP. No. 9 tahun 1975.
Menurut pasal 20 (2) PP.No.9/75 : “Dalam hal tempat kediaman Tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat”. Sedangkan pasal 27 (1) “Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut pasal 20 (2) panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh pengadilan. Ayat ke 2 nya, pengumuman seperti ayat 1 tersebut di lakukan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Ayat ke 3 nya Tengang waktu antara panggilan terakhir sebagai yang dimaksud ayat 2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. Dan ayat ke (4) dalam hal sudah dilakukan sebagaimana maksud ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
Pembahasan Semestinya Pemanggilan Ghaib (pihak yang tak diketahui alamatnya secara jelas) dalam perkara perkawinan, sudah saatnya di revisi, mengingat aturan itu diatur dengan PP. No.9/1975, hingga kini lebih kurang sudah 34 tahun lamanya. Apabila kita menengok masa lalu, pada saat lahirnya peraturan itu, kami masih sekolah kelas 1 SD, alat komunikasi yang ada di Desa umumnya hanya Radio dan surat, Surat kabar masih sangat jarang dan yang mempunyai TV satu kecamatan hanya ada satu atau dua orang . Jalan-jalan di desa belum di asfal seperti sekarang, Listrik dan telpon belum masuk desa dan sebagainya. Jadi sangat relevan peraturan itu di berlaku pada zaman yang masih serba ketinggalan seperti itu.
Akhir-akhir ini teknologi informasi sudah begitu canggihnya, kini hampir tiap orang memiliki HP (Hand Pone), tiap rumah sudah memiliki TV bahkan sudah banyak yang memiliki internet, jalan-jalan yang menuju antar desa sudah relative bagus dan enak dilewati dan seterusnya. Mengingat dan menimbang, zaman sudah serba moderen, maka masa 4 bulan sudah tak relevan lagi masa kini, ada beberapa suatu kejadian kasus setelah tahu dari pengumuman, dari pihak tergugat/termohon, justru hadir ke Pengadilan minta dipercepat waktunya dari masa 4 bulan itu dan karena terlalu lamanya antara jarak daftar dengan persidangan kadang-kadang si pengaju tersebut lupa. Dalam hal ini ada pihak tergugat atau termohon minta dipercepat persidangannya seperti contoh Perkara No. 2262/Pdt.G/2011/PA-TA. dan No. 2260/Pdt.G/2011/PA-TA Hal ini pihak Tergugat/termohon semula gaib, lalu ia mengetahui, selanjutnya mereka kedua pihak datang Ke pengadilan, meminta diajukan hari persidangannya.
Jangka persidangan yang lama itu rasanya sudah tidak tepat dan dapat dikatakan kurang meperhatikan kepentingan Pengaju dan justru berlebihan dalam memperhatikan kepentingan Tegugat/termohon. Dengan demikian dapat juga pengadilan dinilai berat sebelah sama artinya kurang adil. Menurut pendapat Drs. H.Ruslan Harunar Rasyid, SH,MH. Dari masa 4 bulan, dirubah menjadi 1 bulan 14 hari saja, idialnya pengumuman I dengan pengumuman ke II jangka waktu 14 hari, lalu jarak waktu dengan persidangan perdana adalah 1 bulan. (Vide Suara Uldilag, 5 September 2004).
Oleh karena itu menurut hemat kami dari masa 4 bulan di rubah menjadi 2 bulan saja, rasanya pengurangan separuh harga sudah cukup idial dan tidak terlalu drastis. Kiranya Patut kita ingat, bahwa PP. (Peraturan Pemerintah) itu hirarkisnya dibawah UU (Undang-Undang), untuk menyingkat waktu maka cukuplah MA (Mahkamah Agung) cq BADILAG yang melakukan Judicial review terhadap pasal terkait dengan menerbitkan Peraturan MA. Atau entah apa namanya aturan itu untuk menjadi pedoman para Hakim. Oleh karena apabila menanti revisi atau perubahan dari pihak yang paling berkompeten yakni Eksekutif dan Legislatif, rasanya terlalu lama. Dengan membaca gejala-gejala yang ada dan sikond saat ini rasanya belum muncul tanda-tanda, bahwa pihak yang terkait itu, tergelitik untuk merevisi atau merubah terhadap UU. No.1/1974 dan PP. No.9/1975. Bahwasannya MA berwenang menguji Perpu (Peraturan Perundang-Undangan, jika Perpu tersebut bertentangan dengan UU yang sudah ada dapat dinyatakan tidak sah (dibatalkan) , karena Perpu hirarkisnya dibawah UU. Hal ini bisa lihat pada UUD 1945 pasal 24 A(i) dan UU. No. 4 tahun 2004 pasal 11 ayat 2 b. yang berbunyi : “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang”. Demikian juga sekedar untuk diingat, menurut Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 pasal 2, mengenai tata urutan peraturan perundangan Indonesia, sebagai berikut : 1. UUD 1945; 2. Ketetapan MPR RI; 3. UU; 4. Perpu; 5; PP; 6. Kepres; 7. Perda.. Suatu gambaran perjalanan persidangan perkara yang pihak tergugat/termohon tidak diketahui alamatnya jika pasal tersebut sudah direvisi sesuai usulan penulis: Andai Penggugat/Pemohon daftar perkara tanggal 2 Januari 2012, panggilan atau pengumuman pertama untuk Tergugat ataupun Termohon yang ghaib, dapat dilaksanakan oleh Jurusita pada tanggal 10 Januari 2012 dan pengumuman kedua 10 Februari 2012 lalu sidang perdananya tanggal 10 Maret 2012. Sedangkan jika berpedoman dengan pasal 27 PP.No.9/75, apabila daftar perkara tanggal 2 Januari 2012, jangka waktu pemanggilan ke 1 dapat dilalukan pada tanggal 10 Januari 2012. panggilan ke 2 untuk Tergugat/Termohon tanggal 10 Pebruari 2012 dan sidang perdananya 10 Mei 2011.
Sebenarnya semua Hakim sudah maklum, bahwa hakim itu bukan corong undang-undang, kebebasan dan kemandiriannya telah dijamin dengan undang-undang pula bahkan diharapkan pula untuk menggali nilai-nilai dalam masyarakat untuk menciptakan hukum (Judge Made law) untuk memberi rasa adil kepada masyarakat.
Merupakan Salah Satu Solusi Mengurangi Tumpukan Perkara Asas peradilan kita adalah sederhana, cepat dan ringan, di Pengadilan Agama khususnya di Tulungagung dan umumnya di PA yang pernah penulis ketahui, bahwa rata-rata perkara ghaib per tahun kurang lebih 25 % dari perkara non gaib. Dengan demikian, jika Pengadilan telah menerapkan pemanggilan semula tengang waktu 4 bulan, berubah menjadi 2 bulan, maka sudah otomatis dapat mengurangi tumpukan perkara yang ada di Pengadilan, sehingga dapat mempercepat selesainya perkara.
Tehnis Pemanggilan Perkara perceraian Yang Gaib Kelaziman pemanggilan bagi pihak yang tidak diketahui alamatnya, berpedoman dengan pasal 27 PP.No.9/75 yakni di tempel di Papan Pengumuman Pengadilan Agama setempat dan diumumkan melalui Radio Daerah setempat sebanyak dua kali. Untuk PA. Tulungagung pihak pengaju diharuskan membawa surat keterangan dari Desa setempat, yang pokok isinya pihak Tergugat/Termohon sudah sekian lama tidak diketahui secara jelas dan ditambah di umumkan pada Website Pengadilan Agama Tulungagung. Kenapa diharuskan membawa surat keterangan Desa, hal itu sekaligus berfungsi sebagai memperluas jangkauan pengumuman, sebagaimana amanat pasal 27 (1) di atas, di samping diumumkan lewat Radio, papan pengumuman PA dan Website PA. Tentunya Kepala Desa setelah ada warga yang minta keterangan bahwa ada warganya yang hilang (salah satu dari pihak suami atau isteri), paling tidak akan mengimformasikan kepada anak buahnya dan diteruskan kepada masyarakat luas di Desanya.
Muncul pertanyaan, kenapa masih memakai mas media yang berupa Radio, tidak memilih mas media yang lain? Bukankah itu sudah kuno dan sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat pada umumnya? Seharusnya memang sudah waktunya difikir ulang dan dan dikaji secara matang serta didiskusikan yang melibatkan banyak pihak terutama para pucuk pimpinan dan para hakim atau fakar hukum yang lainnya. Radio dipilih, karena dari segi biaya paling murah dan pada zaman dulu hanya itulah yang paling cocok, jika dibandingkan dengan mas media yang lainnya. Kini peradaban sudah serba berubah, dari segi target sampai atau tidak panggilan lewat radio itu, semstinya perlu diteliti dan dikaji lagi. Andai telah diteliti dan dikaji lagi, berkesimpulan “masih layak” memakai Radio sebagai alat pemanngilan ghaib, penulis menyarankan, agar jadwal sidang perkara gaib itu ditempel di Website resmi PA stempat, disamping sebagaimana biasanya, dan dengan tidak menghapusnya sebelum perkara itu BHT (Berkekuatan Hukum Tetap). Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas menurut hemat penulis masa 4 bulan bukan waktu yang pendek untuk masa kini, meskipun demikian para Hakim dipersilakan untuk merenung, berfikir (berijtihad) untuk menentukan dan memutuskan suatu perkara dengn cepat dan tepat namun yang harus di ingat dalam-dalam bahwa hakim memutus perkara itu : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” bukan: “Demi Yang Lain-lainnya”. Semoga tulisan yang sederhana ini, menjadi renungan kita bersama dan ada manfaatnya.
Sumber : www.badilag.net

Rabu, 21 Maret 2018

AYO PERANGI MAFIA: Memulai - Mengaktifkan info masuk multipel

AYO PERANGI MAFIA: Memulai - Mengaktifkan info masuk multipel







Peran Dewan
Syariah Nasional (DSN)
dan Pengawasan
Ekonomi Syariah
Drs. Hasanudin, MA.
(Wakil sekretaris
DSN-MUI dan dosen FSH UIN Jakarta)


A.     Pendahuluan

Perkembangan
ekonomi syariah menunjukkan peningkatan yang memuaskan. Hal ini membuktikan
bahwa ekonomi syariah diterima dan mendapat tempat di kalangan penduduk
Indonesia. Ekonomi syariah menjadi alternatif bagi masyarakat Indonesia dalam
kegiatan ekonominya.
Perkembangan
ekonomi syariah ditandai dengan meningkatkan lembaga keuangan syariah dan
lembaga bisnis syariah. Selain itu, pertumbuhan ekonomi syariah secara akademik
ditandai dengan maraknya pembukaan konsentrasi ekonomi syariah di perguruan
tinggi Islam atau umum, juga merebaknya lembaga dan organisasi yang konsen pada
kajian dan pengembangan ekonomi syariah.
Dalam
bidang keuangan syariah, pertumbuhan lembaga keuangan syariah sangat
signifikan. Peningkatan ini dapat dilihat pada beberepa LKS dan LBS berikut:
1.     
Perbankan syariah adalah lembaga
keuangan syariah yang paling berkembangan pesat. Sampai Agustus 2007, menurut
Statistik Bank Indonesia, terdapat 3 buah Bank Umum Syariah dengan jumlah
kantor 325 buah; dan terdapat 23 Unit Usaha Syariah dengan 165 buah kantor.[1]
2.     
Peningkatan lembaga asuransi
syariah. Sampai Juli 2007 terdapat 2
Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah, 1 Perusahaan Asuransi
Kerugian Syariah, 12 Perusahaan Asuransi Jiwa yang memiliki Kantor Cabang
Syariah, 18 Perusahaan Asuransi Kerugian yang memiliki Kantor Cabang Syariah, 3
Perusahaan Reasuransi yang memiliki Kantor Cabang Syariah.
[2]
3.     
Pertumbuhan ekonomi syariah juga terjadi di bursa saham.
Perkembangan transaksi saham syariah di Bursa Efek Jakarta bisa digambarkan
bahwa, berdasarkan lampiran Pengumuman BEJ No. Peng-192/BEJ-DAG/U/06-2007
tanggal 29 Juni 2007, daftar nama saham tercatat yang masuk dalam perhitungan
Jakarta Islamic Index (JII) untuk periode Juli 2007 s.d Desember 2007 adalah
sebanyak 30 perusahaan saham syariah.
4.     
Juga pertumbuhan di sektor industri
dan bisnis syariah. Sekedar menyebutkan contoh ada hotel syariah, makanan dan
minuman berlabel halal, kolam renang syariah, tukang pijit syariah, dan lain
sebagainya.
Pertumbuhan
yang signifikan ini mengandung konsekuensi tersendiri, yaitu berupa
meningkatnya persaingan bisnis LKS dan LBS. Untuk menghindari persaingan tidak
sehat yang mengakibatkan terabaikannya prinsip-prinsip syariah, perlu ditingkatkan
aspek pengawasan syariah. Perbedaan mendasar LKS dan lembaga keuangan
konvensional terletak pada kepatuhannya terhadap aturan syariah. Dengan begitu,
peran pengawasan syariah menjadi sangat penting karena akan menentukan
kesyariahan LKS dan LBS.
Dalam
konteks Indonesia, pengawasan syariah ini, sebagaimana diamanatkan oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi
Hasil dan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/24/pbi/2004 Tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah, dilakukan oleh DSN dan DPS.

B.    
Prinsip dan Dasar Pengawasan dalam
Islam
Yang membedakan ekonomi syariah dan konvensional adalah
adanya penegasan melaksanakan prinsip-prinsip syariah. Untuk memastikan
keberlangsungan prinsip syariah ini, dibentuklah lembaga pengawas syariah.
Eksistensi lembaga
pengawas syariah ini diakui sebagai bentuk pengamalan ajaran agama. Mencari
rizki yang halal dengan cara yang halal adalah kewajiban setiap muslim. Ekonomi
syariah pun demikian halnya, harus menjalankan kegiatannya secara halal.
Praktik kehalalan ekonomi syariah ini diawasi agar tidak melenceng.
[3] Dasar dari pengawasan ini seperti yang
difirmankan Allah :

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ
عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ. (التوبة: 105)
Artinya:
Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu,
maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu,
dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan
yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan".

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa
manusia diberi kesempatan untuk melakukan apa saja. Termasuk kegiatan ekonomi
dapat melaksanakan kegiatan apa saja. Hanya saja perbuatan itu diawasi dan
diketahui langsung oleh Allah.
Pengawasan dari Allah bersifat langsung, sebagaimana
dijelaskan pada ayat tersebut. Pada ayat tersebut digunakan kata (
فسيرى ), menggunakan huruf fa’ dan shin yang
dalam kaidah ilmu nahwu menunjukkan makna langsung dan segera (
مباشرة وفورية ).[4]
Dengan berprinsip
kepada syariah, kegiatan ekonomi akan diawasi secara hakiki oleh Allah, karena
segala tindakan manusia di muka bumi tidak akan lepas dari pengawasan Allah,
karena Allah adalah Maha Pengawas (
الخبير ). Pengawasan Allah ini bersifat melekat.
Artinya pengawasan Allah berlangsung kapanpun dan dimanapun tanpa dibatasi oleh
sekat waktu dan ruang. Tak sedikit pun terlepas dari pengawasan Allah dan tak
sedetikpun terlewat dari pengawasan-Nya.
Pengawasan langsung
dan segera seperti dijelaskan dalam ayat di atas tidak hanya dilakukan oleh
Allah semata, melainkan ada tiga pihak yang mengawasinya, yaitu:
1.     
Pengawasan langsung dan melekat
oleh Allah.
2.     
Pengawasan yang dilakukan oleh
Rasulullah. Pengawasan oleh Rasulullah ini diwujudkan dalam pengawasan oleh
penguasa sebagai ulil amri.
3.     
Pengawasan umum yang dilakukan oleh
umat Islam. Pengawasan ini dapat diwujudkan dalam bentuk langsung berupa
pengawasan oleh masyarakat dan pengawasan tidak langsung dalam bentuk peraturan
dan ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi.
[5]
Pengawasan
syariah juga memandang bahwa setiap amal itu akan diberikan reward dan punishment.
Amal
baik akan diberikan pahala dan amal buruk diberikan siksa. Untuk itu, setiap
kegiatan manusia, baik dan buruknya, selalu diawasi dan dicatat untuk nantinya
diperlihatkan kepada setiap pelakunya. Firman Allah menjelaskan:
فَمَنْ يَعْمَلْ
مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ.
(الزلزلة:
7-8)
Artinya:
“Barangsiapa yang
mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)
nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia
akan melihat (balasan) nya pula”.

Dari ayat ini jelas, bahwa kegiatan ekonomi yang berprinsip
syariah harus tegas dan konsisten dalam menjalankan syariah. Pengawasan syariah
ini dilakukan dari berbagai arah dan segi. Firman Allah menunjukkan pengawasan
dari segala arah:
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ
قَعِيدٌ. مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ. (ق:
17-18)
Artinya:
“(yaitu) ketika dua
orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan
yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya
melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”.

Dalam praktiknya, pengawasan masyarakat terhadap
kegiatan ekonomi syariah dapat dilakukan melalui lembaga pengawas tertentu,
seperti dewan pengawas syariah (DPS). Dewan pengawas ini dapat melakukan
pembagian tugas dan kerjasama, yaitu dengan:
1.     
Dewan pengawas
syariah yang ada di dalam LKS
2.     
Dewan pengawas
syariah tingkat nasional atau komisi pengawas syariah di dewan fatwa nasional
3.     
Dewan pengawas
syariah umum (DSN) yang berfungsi mengeluarkan fatwa atau lembaga-lembaga
keagamaan
[6]

C.    
Pengawasan dalam Konteks Sejarah
Dalam
lintasan sejarah umat Islam, setidaknya ada tiga kekuasaan dalam bidang
yudikatif dan pengawasan, yaitu Qadha, Wilâyat al-Madhâlim, dan Wilâyat
al-Hisbah.
Qadla
bertugas mengurus perkara-perkara yang berhubungan dengan agama pada umumnya.
Sedangkangkan Wilâyat al-Madhâlim bertugas menyelesaikan perkara-perkara
banding dari dua badan pengadilan; Qadha dan Wilâyat al-Hisbah, dan
menyelesaikan perkara yang tidak bisa diatasi oleh dua pengadilan ini.
Sementara Wilâyat al-Hisbah bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang
berhubungan dengan masalah-masalah umum dan tindak pidana yang memerlukan
penyelesaian segera.
[7]Petugas Qadha disebut dengan al-Qadhi,
petugas Wilâyat al-Hisbah disebut dengan al-Muhtasib, dan petugas Wilâyat
al-Madhâlim disebut Qadhi al-Madhalim.
Ketiga lembaga ini
secara umum bertujuan menegakkan yang baik dan melarang perbuatan yang buruk
(amar makruf nahi munkar). Dalam kondisi modern, tiga lembaga ini bisa
diidentikkan dengan hakim, jaksa, polisi, eksekutor, dewan pengawas, atau
lainnya. Ketiga lembaga ini tidak memiliki tugas secara khusus mengawasi
kesesuaian kegiatan ekonomi dengan syariat Islam. Meskipun demikian, jika
diamati secara cermat ketiga lembaga ini, terutama Wilâyat al-Madhâlim dan
Wilâyat al-Hisbah, memiliki tugas mengawasi kegiatan ekonomi agar berjalan
sesuai syariat Islam. Berikut akan diuraikan secara singkat mengenai tugas dan
kewenangan dari Wilâyat al-Madhâlim, dan Wilâyat al-Hisbah.
1.      Wilâyat al-Madhâlim
Wilâyat al-Madhâlim memiliki tugas
mengadili pejabat negara, baik khalifah, gubernur, maupun aparat pemerintahan
lainnya, yang berbuat kedzaliman kepada rakyat. Wilâyat al-Madhâlim berwenang
mengadili mereka-mereka yang tidak bisa diadili oleh hakim biasa, karena
pengaruh politiknya, seperti pejabat negara dan sebagainya, termasuk
ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim.[8]
Kewenangan yang dimiliki oleh Wilâyat
al-Madhâlim lebih besar dari pada dua lembaga peradilan/pengawas lainnya. Untuk
itu, untuk menjadi hakim Wilâyat al-Madhâlim (Qadhi al-Madhalim atau Nadhir
al-Madhalim), harus memenuhi syarat-syarat tertentu, baik kompetensi maupun
kredibilitas. Menurut al-Mawardi, penulis buku al-Ahkâm al-Shulthâniyah,
seorang Qadhi al-Madhalim harus memenuhi criteria memiliki status social yang
tinggi, memiliki ketegasan sikap, mempunyai kewibawaan dan charisma, mempunyai
kehormatan diri (‘iffah), tidak koruptip (thama’i), dan memiliki
sifat wara’.[9]
Kewenangan (kompetensi) yang dimiliki
Wilâyat al-Madhâlim, menurut al-Mawardi, mencakup hal-hal sebagai berikut:
a.     
Berwenang mengadili pejabat negara yang bertindak tidak
adil kepada rakyatnya. Lembaga ini berwenang menyelidiki, menuntut, mengadili,
dan mengeksekusi pelaku ketidakadilan yang dilakukan pejabat negara.
b.     
Berwenang menyelidiki penyelewengan dan kecurangan yang
dilakukan pegawai negara terhadap penarikan pajak dari rakyat. Lembaga ini
berwenang untuk memerintahkan kepada pegawai yang berbuat curang untuk
mengembalikan kecurangan pajak yang telah dilakukan kepada pihak yang
dicurangi.
c.      
Berwenang menyelidiki, meneliti, dan menghukum pegawai
kantor pemerintahan, yang telah dipercaya oleh rakyat, untuk mengurusi harta mereka.
Bila bertindak tidak sesuai dengan aturan, lembaga ini dapat menghukumnya
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
d.     
Berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah pemberi
gaji (bendaharawan) negara untuk membayarkan gaji kepada pegawai tepat waktu.
Jika ada pengurangan yang dilakukan oleh bendaharawan, lembaga ini dapat
memerintahkan kepada negara untuk mengembalikannya kembali kepada yang berhak
menerimanya.
e.      
Berwenang mencegah perampasan harta rakyat baik yang
dilakukan oleh pejabat negara atau “orang kuat”. Pejabat negara maupun siapapun
orangnya tidak diperkenankan untuk merampas harta rakyat. Tugas lembaga inilah
untuk mencegah kesewenang-wenangan dari pejabat negara dan orang kuat dari
perampasan terhadap harta rakyat.
f.       
Berwenang mengawasi harta-harta wakaf. Harta wakaf yang
diawasi oleh lembaga ini baik harta wakaf umum maupun wakaf harta khusus. Wakaf
harta umum dapat diawasi langsung oleh lembaga ini untuk menjaga
kelestariannya. Sedangkan untuk wakaf khusus, lembaga ini tidak dapat memproses
perkara sebelum ada pengaduan dari masyarakat.
g.     
Berwenang menjalankan fungsi hakim dan peradilan manakala
hakim dan peradilan tidak mampu menjalankan proses hukum karena pihak yang
berpekara memiliki wibawa yang lebih tinggi. Lembaga ini dapat menggantikan
fungsi hakim dan pengadilan untuk mengadili pihak yang berwibawa ini.
h.     
Berwenang menjalankan fungsi Wilâyat al-Hisbah, manakala
lembaga ini tidak mampu menjalankan tugas dan fungsinya dalam menegakkan
perkara-perkara yang melingkupi hajat hidup orang banyak.
i.       
Berwenang mengatur pelaksanaan ibadah-ibadah yang
mengandung unsur syiar Islam, seperti perayaan hari besar, haji, dan
sebagainya. Lembaga ini berwenang membuat aturan tentang prosedur dan penentuan
waktu yang harus dipenuhi oleh penyelenggara.
j.       
Berwenang memeriksa orang-orang yang bersengketa dan
menetapkan hukumnya bagi mereka. Fungsi ini dapat dilakukan oleh lembaga ini
selama tidak melewati aturan-aturan yang ada dalam qadha.
[10]
Dari paparan kompetensi
Wilâyat al-Madhâlim di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa lembaga ini
memiliki kewenangan untuk mengawasi praktik ekonomi. Sebagai contoh, lembaga
ini berwenang untuk mengawasi harta wakaf agar dijalankan sesuai dengan amanat
dan fungsi wakaf. Lembaga ini juga berwenang mengawasi perilaku pejabat negara
agar tidak menyeleweng dan berperilaku menyalahi aturan agama dan aturan hukum
yang ada.

2.     
Wilâyat al-Hisbah
Wilâyat al-Hisbah
adalah lembaga yang berwenang memerintahkan kepada yang makruf ketika ada yang
jelas-jelas meninggalkannya dan melarang yang munkar ketika ada yang
jelas-jelas menjalankannya.[11]Selain
memerintahkan yang makruf dan melarang yang munkar, menurut Athiyah, lembaga
ini berfungsi pula menciptakan kemaslahatan manusia dengan metode yang sesuai
dengan syariat Islam.[12]Lembaga
ini bahkan berwenang untuk menetapkan hukum dan menyelesaikan sengketa tanpa
harus menunggu adanya dakwaan atau pengaduan.[13]
Dasar pendirian
lembaga ini adalah firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104 yang menyatakan:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ
يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون
.
ِArtinya:
“Dan hendaklah ada
di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung”.

Perintah Alquran ini
merupakan inti dari ajaran Islam, yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Perintah ini merupakan wujud dari ketakwaan dan kehambaan dari
Allah.
Kompetensi yang
dimiliki oleh Wilâyat al-Hisbah adalah sebagai berikut:
a.     
Amar makruf nahi
munkar
b.     
Membimbing masyarakat untuk
memelihara kemaslahatan umum
c.      
Mencegah penduduk dari membangun
rumah-rumah yang mengakibatkan sempitnya jalan-jalan umum
d.     
Mencegah para pedagang meletakkan
barang-barang dagangannya yang dapat menghalangi lalu lintas
e.      
Mencegah para buruh membawa beban
di luar kemampuannya
f.       
Mencegah kendaraan-kendaraan dari
mengangkut barang-barang yang melebihi daya angkutnya
g.     
Memerintah para pemilik rumah untuk
segera membongkar rumahnya yang hampir roboh agar tidak menimbulkan bencana
bagi orang lain
h.     
Menasehati para guru yang memukul muridnya
yang melebihi kepatutan
i.       
Mencegah tetangga dari mengganggu
hak-hak tetangga lainnya
j.       
Menerima pengaduan yang termasuk di
dalam wilayah kompetensinya, seperti penipuan dalam timbangan dan takaran
k.     
Mendesak orang-orang yang suka
mengangguhkan pembayaran hutang-hutangnya agar segera melunasinya
l.       
Memperhatikan kondisi para pejabat
tinggi dan menegurnya apabila mereka tidak mau memenuhi kewajiban-kewajibannya
m.   
Menyelesaikan suatu persengketaan
dan menyelesaikan suatu pengaduan selama masih berada dalam wilayah
kekuasaannya
n.     
Mengambil keputusan terhadap
permasalahan yang termasuk dalam wilayah kompetensinya.
[14]
Wilâyat
al-Hisbah berwenang mengadili pengaduan karena delik pengurangan timbangan atau
takaran, penipuan (ghasy), penyembunyian (tadlîs), baik dalam barang dagangan
maupun harganya, juga berwenang terhadap menangani pihak yang menunda
pembayaran hutang padahal mampu membayarnya.
[15]
Lembaga
Hisbah dapat membatalkan perdagangan yang rusak yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam, juga dapat menghukum dan memerintahkan kepada pelakunya untuk merubah
sikap tersebut.
[16]Lembaga Hisbah dalam hal ini berperan
sebagai pengawas agar para pelaku bisnis dan perdagangan menjalankan prinsip
syariah dalam muamalat, termasuk dalam perdagangan dan bisnis.

D.    
Peran DSN
Keberadaan Dewan
Syariah Nasional (DSN) MUI belum diatur secara khusus dalam sebuah
undang-undang. Dasar hukum yang mengikat bagi DSN adalah Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 6/24/pbi/2004
Tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam peraturan ini hanya dijelaskan pengertian DSN, tidak diatur hal-hal
lainnya.
Aturan
lain adalah surat keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.
Menurut PBI Nomor
6/24/PBI/2004, Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis
Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa
tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan Kegiatan
Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dewan Syariah
Nasional berfungsi memberikan kejelasan atas kinerja lembaga keuangan syariah
agar betul-betul berjalan sesuai dengan prinsip syariah. Lahirnya DSN sebagai
wujud dari antisipasi atas kekhawatiran munculnya perbedaan fatwa di kalangan
Dewan Pengawas Syariah.
[17] Karena bersifat
fiqhiyah, kemungkinan terjadi perbedaan pendapat fatwa sangat besar. Untuk itu,
dengan dibentuknya sebuah dewan pemberi fatwa ekonomi Islam yang berlaku secara
nasional diharapkan tidak terjadi perbedaan istinbât hukum. Fatwa DSN menjadi
pegangan bagi DPS untuk mengawasi apakah lembaga keuangan syariah menjalankan
prinsip syariah dengan benar.
DSN adalah salah satu
lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1998 yang
kemudian dikukuhkan oleh SK Dewan Pimpinan MUI Nomor Kep-754/MUI/II/1999
tertanggal 10 Pebruari 1999. Pendirian DSN ini tidak secara tiba-tiba ataupun
terburu-buru, melainkan setelah didahului beberapa kali pertemuan yang
dilakukan oleh MUI; antara lain Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah pada
tanggal 29-30 Juli 1997 di Jakarta yang merekomendasikan agar dibentuk DSN
untuk mengawasi dan mengarahkan lembaga-lembaga keuangan syariah, dan rapat tim
pembentukan DSN pada 14 Oktober 1997.
Pada bagian
konsideran SK DP-MUI tentang pembentukan DSN tersebut dinyatakan, antara lain,
bahwa hal yang melatarbelakangi pembentukan DSN adalah dalam rangka mewujudkan
aspirasi umat  Islam mengenai masalah
perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang
perekonomian/keuangan yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syari’at Islam.
[18]
Selain itu,
kehadiran DSN pun diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong penerapan ajaran
Islam dalam kehidupan ekonomi dan keuangan. Oleh karena itu, Dewan Syariah
Nasional akan senantiasa dan berperan secara proaktif dalam menanggapi
perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam bidang ekonomi dan
keuangan.
DSN memiliki metode
tersendiri dalam menjamin kesyariahan ekonomi Islam. Karakteristik utama dari
metode itu adalah:
1.     
Jika ada suatu teks di dalam Alquran atau sunnah yang
tampak relevan dengan problem yang dihadapi, Dewan Syariah  tidak akan mencari di luar teks tersebut.
Jika ada kesepakatan di kalangan fuqaha atas suatu masalah, Dewan Syariah  mengikuti apa yang sudah menjadi kesepakatan itu.
2.     
Menguji masalah yang sedang berkembang di masyarakat,
untuk dilihat apakah masalah itu dapat dimasukkan ke dalam salah satu kontrak
atau masalah yang diharamkan atau dihalalkan dalam fikih. Dalam perbandingan
antara masalah yang dihadapi dengan yang ada dalam fikih ini, fokus Dewan
Syariah  umumnya adalah definisi-legal
fikih. Jika masalah itu akan diselesaikan dengan hukum yang ada dalam fikih.
[19]
Adapun
tugas dan wewenang utama DSN adalah memberikan fatwa ekonomi syariah. DSN
memiliki tugas uatama sebagai berikut:
1.     
Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam
kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
2.     
Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
3.     
Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
4.     
Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Adapun
wewenang yang diberikan oleh MUI kepada Dewan Syariah Nasional adalah:
1.     
Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah
(DPS) di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan
hukum pihak terkait.
2.     
Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi
ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti
Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
3.     
Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi
nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada suatu
lembaga keuangan syariah.
4.     
Memberikan saran-saran pengembangan lembaga keuangan
syariah kepada Direksi dan/atau Komisaris mengenai operasional lembaga keuangan
syariah yang bersangkutan.
5.     
Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang
diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga
keuangan dalam maupun luar negeri.
6.     
Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah
untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional.
7.     
Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk
mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
[20]
Dalam menjalankan
tugas dan fungsinya, DSN memiliki tata kerja tersendiri. Adapun mekanisme kerja
DSN adalah:
1.     
Mensahkan rancangan fatwa yang
diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN dalam rapat pleno.
2.     
Menetapkan, mengubah, atau mencabut
berbagai fatwa dan pedoman kegiatan lembaga keuangan syariah dalam rapat pleno.
3.     
Mensahkan atau mengklarifikasi
hasil kajian terhadap usulan atau pertanyaan mengenai suatu produk atau jasa
lembaga keuangan syariah dalam rapat pleno.
4.     
Melakukan rapat pleno paling tidak
satu kali dalam tiga bulan, atau bilamana diperlukan.
5.     
Setiap tahunnya membuat suatu
pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan (annual report) bahwa lembaga
keuangan syariah yang bersangkutan telah/tidak memenuhi segenap ketentuan
syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
[21]

E.    
Peran DPS
Berbeda dengan DSN
yang tidak diatur dalam UU, DPS diatur
dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.
7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengakomodasi DPS sebagai lembaga pengawas
syariah terhadap bank yang menerapkan prinsip syariah.
DPS adalah lembaga
pengawas syariah yang bertugas mengawasi operasional dan praktik LKS agar tetap
konsisten dan berpegang teguh kepada prinsip syariah. Pedoman Dasar DSN (bab II
ayat 5) mengemukakan, Dewan Pengawas Syariah adalah badan yang ada di lembaga
keuangan syariah dan bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan Syariah
Nasional di lembaga keuangan syariah. Sementara itu, Pedoman Rumah Tangga DSN
(pasal 3 ayat 8) menegaskan, Untuk lebih mengefektifkan peran DSN pada lembaga
keuangan syariah dibentuk Dewan Pengawas Syariah, disingkat DPS, sebagai
perwakilan DSN pada lembaga keuangan Syariah yang bersangkutan. DPS,
sebagaimana diatur dalam PBI No. 6/24/PBI/2004 adalah dewan yang melakukan
pengawasan terhadap prinsip syariah dalam kegiatan usaha LKS.
Dalam Pedoman Dasar
DSN tersebut, mekanisme kerja DPS dijelaskan sebagai berikut:
1.     
Melakukan pengawasan secara
periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya.
2.     
Berkewajiban mengajukan usul-usul
pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan
dan kepada Dewan Syariah Nasional.
3.     
Melaporkan perkembangan produk dan
operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah
Nasional sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran.
4.     
Merumuskan
permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan  Dewan 
Syariah Nasional.
Sedangkan Mengenai
tugas dan fungsi DPS diatur dalam Pedoman Rumah Tangga DSN sebagai berikut:
1.    DPS pada setiap
lembaga keuangan mempunyai tugas pokok:
(1)   
memberikan nasihat dan saran kepada
direksi, pimpinan unit usaha syariah dan pimpinan kantor cabang lembaga
keuangan syariah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan aspek syariah.
(2)   
melakukan pengawasan, baik secara
aktif maupun secara pasif, terutama dalam pelaksanaan fatwa DSN serta
memberikan pengarahan/ pengawasan atas produk/jasa dan kegiatan usaha agar
sesuai dengan prinsip syariah.
(3)   
sebagai mediator antara lembaga
keuangan syariah dengan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan
produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerlukan kajian dan fatwa
dari DSN.
2.   
DPS berfungsi sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan
pada lembaga keuangan syariah wajib:
(1)    mengikuti fatwa DSN.
(2)   
merumuskan permaslahan yang memerlukan pengesahan DSN.
(3)   
melaporkan kegiatan usaha serta perkembangan lembaga
keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya satu kali dalam
setahun.

F.     
Tata Cara Pengawasan di Bank
Syariah
Pengawasan yang
dilakukan oleh DPS di bank syariah, sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 8/19/Dpbs Tanggal 24 Agustus 2006 tentang Sistem Pengawasan dan Tata Cara
Pelaporan, dibakukan dan distandarkan, .
Standarisasi laporan
ini didasarkan atas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 6/17/PBI/2004 Tentang
Bank Perkreditan Rakyat Syariah, PBI Nomor 6/24/2004 tentang Bank Umum Syariah,
dan PBI Nomor 8/3/PBI/2006 tentang DPS menyampaikan laporan hasil pengawasan
syariah secara periodic kepada DSN, BI, Direksi, dan Komisaris. Standarisasi
ini juga merupakan jawaban dari rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ijtima’
Sanawi (Annual Meeting) DPS yang pertama tahun 2005.
Tujuan dilakukannya
standarisasi ini, sebagaiman disebutkan dalam SE BI itu adalah:
a.      
Menjadi acuan minimal bagi DPS
dalam menjalankan fungsi pengawasan syariah.
b.      
Memberikan kesamaan pandang dan
sikap dalam menanggapi dan menangani setiap permasalahan yang dihadapi bank.
c.      
Memenuhi standar good corporate
governance
dan aspek akuntabilitas dan transparansi.
[22]
Pedoman
pengawasan syariah hanya mencakup hal-hal yang terkait dengan aspek kepatuhan
syariah (sharia compliance aspects) baik dalam operasional maupun produk
dan jasa bank syariah.
Pedoman pengawasan
syariah ini mengacu kepada:
a.       Undang-Undang Perbankan.
b.       Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI.
c.       Pedoman yang dikeluarkan oleh DSN-MUI.
d.       Prinsip-prinsip syariah dalam Sharia Standards (Ma’âyir
Syar’iyyah
) yang diterbitkan oleh Accounting and Auditing Organization for
Islamic Financial Institution (AAOIFI).
e.       Pedoman umum dalam Accounting, Auditing,
and Governance Standards for Islamic Financial Institution yang dikeluarkan
oleh AAOIFI.
f.       
Pedoman pengawasan
dan pemeriksaan Bank Syariah yang diterapkan oleh Direktorat Perbankan Syariah
Bank Indonesia (Dpbs-BI).
g.       Ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia yang berlaku bagi bank syariah.
h.       Pedoman Standar Akuntansi Keuangan dan
Pedoman Akuntansi yang berlaku bagi perbankan syariah yang disusun oleh Bank
Indonesia dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
i.        
Panduan Audit Bank
Syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan Ikatan Akuntan Indonesia.
j.        
Ketentuan umum yang dikeluarkan
oleh instansi terkait dan undang-undang yang berlaku secara umum.
k.      
Berbagai buku literature lainnya
yang terkait dengan pengawasan syariah pada lembaga keuangan dan perbankan
syariah.
[23]
Sekurang-kurangnya
setiap enam bulan sekali, DPS harus melaporkan hasil pengawasan kepada BI, DSN,
Direksi dan Komisaris dengan format yang telah ditetapkan (lampiran 1).

G.   
Format Laporan Pengawasan
Sekurang-kurangnya
setiap enam bulan sekali, DPS harus melaporkan hasil pengawasan kepada BI, DSN,
Direksi dan Komisaris dengan format seperti di atas. DPS dalam menyampaikan
laporannya menggunakan kertas kerja yang sudah disiapkan formnya oleh BI, yaitu
sebagai berikut :

Nama Bank Syariah  :
Tanggal Laporan       :
Tanggal Laporan       :                                                                      
                                                                                                            Lampiran
1

No

Uraian

Pendapat DPS


Sesuai
Sharia

Tidak
Sesuai

Catatan (dijelaskan
dlm lamp. terpisah)


1

Kesesuaian produk dan jasa dgn fatwa DSN




A

Penghimpunan dana











-      
Giro
-      
Tabungan
-      
Deposito
-      
Surat berharga
yang diterbitkan
-      
Penerimaan dana
dari bank lain
-      
Lainnya









B

Penyaluran dana











-      
Murabahah
-      
Istishna
-      
Salam
-      
Mudharabah
-      
Musyarakah
-      
Ijarah
-      
Qardh
-      
Pembelian surat
berharga
-      
Penempatan pada
bank lain
-      
Lainnya









C

Jasa-jasa











-      
Wakalah
-      
Kafalah
-      
Rahn
-      
Lainnya



















2

Apakah terdapat produk dan jasa yang dilakukan bank yang
tidak/belum diatur dalam fatwa DSN







3

Pedoman operasional
dan produk bank telah sesuai dengan prinsip syariah dalam fatwa DSN




A

Pedoman operasional penghimpunan dana









B

Pedoman operasional penyaluran dana









C

Pedoman operasional jasa









D

Pedoman perhitungan
distribusi bagi hasil









E

Pedoman akuntansi sesuai dengan PSAK dan PAPSI



















4

Opini syariah
secara keseluruhan atas pelaksanaan operasional bank dalam laporan publikasi
bank







5

Informasi temuan syariah lainnya dari DPS







6

Usulan dan rekomendasi

















No

Nama

Jabatan

Tanda Tangan


1



Ketua




2



Anggota




3



Anggota












H.   
Keberadaan DSN dan DPS di Beberapa
Bank Syariah Dunia
Sudan
menempatkan Dewan Syariah (Sharia Supervisory Board) di dalam struktur
bank sentral (Bank of Sudan). Kedudukan Sharia Supervisory Board berada
setingkat dengan deputi gubernur. Seluruh fatwa yang dikeluarkan oleh Sharia
Supervisory Board
dapat langsung diterapkan di bank syariah, karena fatwa Sharia
Supervisory Board
merupakan keputusan bank sentral.
Fatwa Sharia Supervisory Board dapat
langsung dipositivisasi oleh bank sentral.[24]
Sharia Supervisory
Board
memiliki fungsi
mengeluarkan fatwa yang terkait dengan sharia compliance. Sharia Supervisory
Board
juga berfungsi sebagai pemutus atas perbedaan pendapat atau tafsir
atas prinsip-prinsip syariah. Di samping ada Sharia Supervisory Board (semacam
DSN), Sudan mewajibkan kepada bank syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah yang
jumlahnya paling sedikit tiga orang.[25]





 












SSB: Sharia Supervisory Board

Di Malaysia,
keberadaan DSN masuk struktur Bank Negara Malaysia berada setingkat dengan
departemen yaitu di bawah Islamic Banking and Takaful Departmen. Kedudukan
ini lebih rendah dibanding dengan kedudukan DSN di Sudan yang setingkat dengan
deputi. Fatwa yang dikeluarkan DSN Malaysia secara otomatis diakui oleh bank
sentral dan mengikat bagi bank syariah.







Gubernur
 
 






 










IBTD: Islamic Banking and Takaful
Departmen

Untuk mengantisipasi
perbedaan pandangan dan keputusan mengenai kesyariahan suatu bank oleh beberapa
DPS, dibentuklah DPS tingkat nasional yang lahan kerja seluruh bank syariah. Di
negara Arab dibentuk Dewan Tinggi Fatwa dan Pengawas Syariah yang berfungsi
untuk menetapkan fatwa tingkat nasional yang menjadi referensi dan rujukan bagi
DPS dan bank syariah secara keseluruhan. Dewan fatwa ini menjadi penentu dan
pemutus atas fatwa atau fatwa-fatwa yang berbeda di kalangan DPS di bank
syariah.[26]
Anggota DPS diambil
dari kalangan yang memiliki pengetahuan luas bidang agama, dan mendalami fikih
Islam, fikih muamalat, ekonomi Islam, dan memahami peraturan perundangan yang
berlaku yang berkaitan dengan bank syariah. Di bank Islam Faisal dan bank Islam
At-Takwa, penentuan dilakukan oleh rapat umum pemegang saham. RUPS berhak
menetapkan siapa yang akan menjadi anggota DPS dan syarat-syarat apa yang harus
dipenuhi oleh calon anggota DPS.
Peraturan Bank Islam
At-Takwa memberikan kewenangan tambahan kepada DPS yaitu dalam kondisi DPS
menolak dewan direksi karena saran-sarannya, DPS dapat mengundang RUPS luar
biasa dan menyampaikan penyelewengan bank atas prinsip syariah. RUPS dapat
mengambil langkah tepat untuk menyebarkan luaskan pandangan dan pernyataan DPS
melalui sarana media informasi.[27]

I.      
Penutup
Keberadaan
lembaga pengawas syariah akan selalu berkembang seiring pertumbuhan ekonomi
syariah. Dalam RUU Perbankan Syariah yang sedang digodok di DPR, salah satu
pasal yang dianggap krusial dan mengundang perdebatan adalah eksistensi
DSN-MUI. Apakah lembaga ini tetap dipertahankan atau diganti Komite Ahli
Syariah (KAS). Namun, alhamdulillah DPR dan Pemerintah menyetujui
mempertahankan DSN dan membentuk KAS.








[1] Laporan Perkembangan Bank Syariah Bank Indonesia bulan Agustus
2007

[2] Sumber Laporan Bapepam - LK, Biro Asuransi

[3] Dalil syara’ mengatakan, “apa yang haram diambil haram pula
diberikan” (
ما حرم أخذه حرم إعطائه ), atau “apa yang haram dikerjakan haram pula dicari” ( ما حرم فعله حرم طلبه ).[3] Pada tahun 1934, seorang dewan senior Amerika mengatakan bahwa
“lembaga keuangan, meski memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari
terutama terkait dengan kegiatan keuangan, akan tetapi operasional dan
kegiatannya tidak diawasi oleh suatu dewan pengawasan dan tidak memenuhi
standar kehati-hatian dan pengawasan sebelum tahun 1934. Kemudian Amerika
menetapkan kewajiban bank untuk tunduk kepada pengawasan pemerintah setelah
melihat kondisi tersebut. Abdul Hamid Mahmud al-Ba’ly, Mafâhîm Asâsiyyah fî
al-Bunûk al-Islâmiyyah,
(Kairo: Al-Ma’had al-‘Âlamy Lilfikri al-Islâmy,
1996), hal. 105 - 106

[4] Ibid., hal. 102

[5] Ibid., hal. 103

[6] Ibid., hal. 107

[7] Hasan Ibrahim Hasan, Târikh al-Islâm
al-Siyâsiy,
j.II dan III (Beirut: Maktabah al-Nahdhah, tt.), hal. 243 - 245

[8] Nashir ibn ‘Aqil ibn Jubair al-Tharifi, Al-Qadha fi ‘Ahdi
‘Umar al-Khaththab,
(Jeddah: Dâr al-Madani, 1986), cet.ke-1, hal. 561

[9] Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Bashri al-Baghdadi
al-Mawardi, Al-Ahkâm al-Shulthâniyah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), hal.
77

[10] Ibid., hal. 80 - 83

[11] Nashir ibn ‘Aqil ibn Jubair al-Tharifi, op.cit.,
hal. 539

[12] Athiyyah Musyarrafah, hal. 179

[13] Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, al-Thuruq
al-Hukmiyah fi al-Siyâsah al-Syar’iyyah,
(Surabaya: Rabithah al-Ma’âhad
al-Islâmiyah, tt.), hal. 237

[14] Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqie, Peradilan
dan Hukum Acara Islam,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), cet.ke-2,
hal. 99 - 100

[15] Al-Mawardi, op.cit.,
hal. 241

[16] Ibid.,
hal. 253

[17] Muhammad Firdaus
(peny.), Sistem dan Mekanisme Pengawasan Syariah, (Jakarta: Renaisan,
2005), cet. Ke-1, hal. 13

[18] DSN dan BI, Himpunan
Fatwa DSN,
(Jakarta: DSN dan BI, 2003), hal. 281

[19] Abdullah Saeed, Islamic Banking and
Interest: a Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary,
(Leiden,
1996), hal. 109 - 110

[20] DSN dan BI, op.cit., hal. 282

[21] Ibid.,
hal. 283

[22] Lampiran SE No.
8/19/Dpbs tanggal 24 Agustus 2006 tentang Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata
Cara Pelaporan Hasil Pengawasan Bagi Dewan Pengawas Syariah, (Bank Indonesia,
Direktorat Perbankan Syariah, 2006), hal. 1

[23] Ibid., hal. 1 - 2

[24] Abdullah Saeed,  op.cit., hal. 10

[25] Ibid., hal. 10

[26] Ibid., hal. 220 Lihat pasal 5 UU
Persatuan No. 6 Tahun 1985 tentang Lembaga Keuangan Islam, Pasal 2 dan 3 UU
Pendirian Bank Islam Faisal, juga UU yang dikeluarkan oleh negara Malaysia
tahun 1983 yang mewajibkan adanya DPS tatkala mendirikan bank syariah.

[27] Bab 7 pasal 95 tentang peraturan bank Islam
At-Takwa